Jakarta – Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (DJPP) melalui Direktorat Perancangan Peraturan Perundang-undangan menggelar rapat pembahasan substansi cross-border insolvency atau kepailitan lintas batas dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kegiatan ini dilaksanakan secara hibridadi Ballroom Lantai 6, Gedung Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum, pada Rabu (30/07/2025).
Rapat ini menghadirkan berbagai pemangku kepentingan dari lintas lembaga dan latar belakang keahlian. Hadir baik secara daring maupun luring perwakilan dari Mahkamah Agung, Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Hukum dan HAM, Asian Development Bank (ADB) – INSOL, serta Asosiasi Kurator. Turut hadir pula sejumlah tenaga ahli di bidang hukum dan kepailitan seperti Zafrullah Salim, Asep Iwan Iriawan, Ricardo Simanjuntak, Hadi Shubhan, Teddy Anggoro, Aria Suyudi, dan Aji Wijaya.
Pembahasan ini menjadi bagian penting dalam upaya modernisasi sistem hukum kepailitan nasional, khususnya dalam merespons tantangan globalisasi ekonomi. Kepailitan lintas batas terjadi ketika suatu proses kepailitan melibatkan aset atau utang yang tersebar di lebih dari satu negara, dan tanpa kerangka hukum yang harmonis, proses hukum ini berpotensi menimbulkan konflik yurisdiksi dan memperumit upaya restrukturisasi atau penyelamatan bisnis.
Undang-undang yang mengatur kepailitan lintas batas menjadi kerangka hukum penting untuk menciptakan kepastian pasar dan mendukung stabilitas serta pertumbuhan ekonomi. Dengan regulasi yang jelas, pelaku pasar dapat menilai risiko kredit secara lebih akurat.
RUU ini mengadopsi prinsip-prinsip yang dianut oleh UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency, yang disahkan oleh Komisi Hukum Perdagangan Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCITRAL) pada tahun 1997. Langkah ini mencerminkan komitmen Indonesia untuk menyelaraskan sistem hukum nasional dengan praktik internasional demi menciptakan ekosistem bisnis yang sehat dan kompetitif secara global.
Dengan meningkatnya arus investasi dan keterkaitan ekonomi antarnegara, pembaruan Undang-Undang Kepailitan menjadi kebutuhan mendesak. Melalui proses ini, diharapkan Indonesia dapat menghadirkan sistem kepailitan yang lebih adaptif, transparan, dan mampu melindungi kepentingan semua pihak, termasuk kreditur, debitur, dan investor internasional.