Jakarta – Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (DJPP) melalui Direktorat Perancangan Peraturan Perundang-undangan kembali melanjutkan pembahasan dalam Rapat Panitia Antar Kementerian (PAK) Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana dan Tindakan. Rapat yang berlangsung secara hibrid ini digelar di ruang rapat KUHP lantai 5, Gedung DJPP, Rabu (16/04) dan dibuka langsung oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Dhahana Putra.
Turut hadir dalam rapat ini, Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan, Roberia, bersama perwakilan dari berbagai kementerian dan lembaga strategis yang hadir secara daring maupun luring. Di antaranya adalah Mahkamah Agung, Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Kementerian Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, serta Kementerian Sosial, Kesehatan, Pendidikan, Pertahanan, dan lain-lain.
Sejumlah tenaga ahli turut memperkaya diskusi, seperti Harkristuti Harkrisnowo, Pujiyono, Albert Aries, Ajeng Gandini Kamilah, dan Ove Syaifudin, yang memberikan perspektif akademik dan praktis terhadap materi pembahasan.
Agenda utama dalam rapat kali ini adalah melanjutkan pembahasan pasal demi pasal terkait Pidana Pengawasan. Jenis pidana ini dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana dengan ancaman penjara paling lama lima tahun, dengan mempertimbangkan tujuan dan pedoman pemidanaan secara komprehensif.
Dalam pembahasannya, disorot pula pentingnya pengaturan rinci dalam putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana pengawasan. Putusan tersebut minimal harus memuat jangka waktu pidana pengawasan, syarat umum dan khusus yang harus dipatuhi terpidana, serta konsekuensi hukum jika syarat dilanggar. Hakim juga wajib menetapkan ketentuan mengenai pidana penjara pengganti jika terjadi pelanggaran terhadap syarat yang ditentukan. Selain itu, terpidana diwajibkan untuk memberitahukan kepada Jaksa apabila akan pindah domisili atau lokasi pembimbingan.
Pembahasan ini menjadi bagian penting dari proses harmonisasi pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nasional yang baru, seiring dengan semangat reformasi hukum pidana di Indonesia yang lebih humanis, responsif, dan proporsional.