Jakarta – Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (DJPP) Kementerian Hukum kembali menggelar rapat tim kecil penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Salah satu topik penting yang menjadi perhatian dalam pembahasan kali ini adalah pengaturan mengenai kepailitan lintas batas (cross border insolvency).
Rapat dipimpin oleh Plh. Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan, Rini Maryam, dihadiri oleh perwakilan instansi terkait, antara lain Mahkamah Agung, Kementerian Koordinator Bidang Huku, Hak Asasi Manusia, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian Sekretariat Negara, Tenaga Ahli, dan Kementerian Hukum yang diwakili oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, serta Tim Perancang Peraturan Perundang-undangan DJPP.
Sejak pembahasan awal pada tahun 2024, tim perumus telah menyepakati bahwa pengaturan kepailitan lintas batas dalam RUU ini akan difokuskan pada dua aspek utama, yaitu pengakuan putusan pengadilan asing dan kerja sama dengan pengadilan asing. Untuk mendukung hal tersebut, sebagian ketentuan dari UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency akan diadopsi, terutama dalam empat aspek pokok, yaitu akses (access), kerja sama (cooperation), pengakuan (recognition), serta pengurusan dan pemberesan (relief). Agenda rapat hari ini difokuskan untuk menggali pengalaman praktik kepailitan lintas batas yang pernah terjadi di Indonesia maupun di negara lain, serta mendiskusikan ketentuan dari UNCITRAL Model Law yang relevan untuk diadopsi dalam konteks nasional.
Sebagai bagian dari penguatan kerangka hukum, RUU Kepailitan juga akan mencantumkan ketentuan mengenai pilihan hukum untuk menangani aset di luar negeri, baik melalui asas timbal balik (resiprokal) maupun perjanjian internasional. Selain RUU Kepailitan, isu pengakuan putusan asing juga menjadi bagian dari pembahasan dalam RUU Hukum Acara Perdata dan RUU Hukum Perdata Internasional yang tengah disusun secara paralel. Dengan revisi ini, sistem hukum Indonesia diharapkan lebih adaptif terhadap dinamika global serta mampu memberikan kepastian hukum dalam penyelesaian perkara kepailitan lintas negara.