
Jakarta — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia hari ini, Selasa, 25 November 2025, menggelar Rapat Paripurna dengan agenda krusial: pengambilan keputusan tingkat II terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengelolaan Ruang Udara. Rapat ini dilaksanakan di Ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara II. Pimpinan DPR RI, melalui Wakil Ketua Prof. Dr. Ir. H. Sufmi Dasco Ahmad, telah mengundang para menteri terkait, termasuk Menteri Pertahanan, Menteri Perhubungan, dan Menteri Hukum, untuk hadir dan mewakili Presiden.
Dalam sesi tersebut, Menteri Hukum Republik Indonesia, Supratman Andi Agtas, bertugas menyampaikan Pendapat Akhir Presiden, menandai persetujuan Pemerintah untuk mengesahkan RUU ini menjadi undang-undang. Menteri Hukum didampingi oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan (Dirjen PP), Dhahana Putra.
Pemerintah menegaskan bahwa pengesahan RUU ini sangat mendesak (urgensi). Alasannya, selama ini belum ada payung hukum yang kuat untuk pengelolaan ruang udara, yang mengakibatkan rentannya Indonesia terhadap pelanggaran wilayah udara (aerial intrusion) oleh pesawat atau wahana udara asing, termasuk di kawasan terlarang (prohibited area) dan terbatas (restricted area). Lebih jauh, hukum positif Indonesia saat ini belum memiliki pengaturan mengenai sanksi pidana terhadap pelanggaran wilayah udara, dan hanya sebatas sanksi administratif.
Pendapat Akhir Presiden menyatakan persetujuan mutlak terhadap RUU tersebut. Selain mengatasi masalah pelanggaran dan sanksi, RUU ini juga ditujukan sebagai pelaksanaan amanat dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, yang memerintahkan pembentukan undang-undang khusus tentang pengelolaan ruang udara sebagai bagian dari sistem penataan ruang nasional. Undang-undang baru ini diharapkan dapat menjadi landasan untuk pengelolaan ruang udara yang berkelanjutan, dengan memperhatikan seluruh aspek vital, mulai dari pertahanan, keamanan, hingga keselamatan penerbangan dan teknologi.




