Jakarta — Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (DJPP) Kementerian Hukum terus mematangkan penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Narkotika dan Psikotropika. Pembahasan dilakukan dalam rapat virtual yang digelar pada Rabu (11/6), dan melibatkan lintas kementerian, lembaga penegak hukum, serta kalangan akademisi dan organisasi masyarakat sipil.
Rapat yang dipimpin oleh Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan, Roberia, dan dipandu oleh Perancang Peraturan Perundang-undangan Ahli Madya, Rini Maryam, menjadi ajang konsolidasi pandangan dari berbagai pemangku kepentingan. Tujuannya adalah menyusun regulasi yang komprehensif dan adaptif terhadap tantangan penanggulangan narkotika dan psikotropika di Indonesia.
Hadir dalam rapat ini perwakilan dari berbagai institusi strategis seperti Kementerian Koordinator Bidang Hukum, Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, serta lembaga penegak hukum seperti Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung. Turut serta pula Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan tokoh ahli seperti Harkristuti Harkrisnowo dan Albert Aries. Lembaga swadaya masyarakat seperti ICJR juga ikut memberikan masukan dalam forum ini.
Agenda rapat kali ini Pembahasan substansi Bab IX Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan. RUU ini memiliki orientasi ganda: selain menegaskan upaya pemberantasan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, juga menjamin akses terhadap zat tersebut untuk tujuan medis dan penelitian. Hal ini menjadi penting agar Indonesia memiliki kerangka hukum yang seimbang antara pendekatan penegakan hukum dan pendekatan kesehatan publik. Salah satu poin utama yang ditekankan adalah pentingnya layanan rehabilitasi yang manusiawi serta strategi pengurangan dampak buruk (harm reduction).
Penyusunan RUU ini tidak hanya bertujuan memerangi peredaran gelap narkotika, tetapi juga memastikan warga negara, terutama yang terdampak sebagai pengguna, mendapatkan layanan kesehatan yang layak dan berbasis ilmu pengetahuan.
Dalam draf RUU tersebut, narkotika dijelaskan sebagai zat atau obat yang bisa berasal dari tanaman maupun sintetis, yang dapat memengaruhi kesadaran, menimbulkan rasa nyeri, dan berpotensi menyebabkan ketergantungan. Sementara itu, psikotropika didefinisikan sebagai zat non-narkotika yang memengaruhi sistem saraf pusat dan dapat mengubah perilaku serta kondisi mental seseorang.
Seluruh klasifikasi narkotika dan psikotropika akan diatur secara rinci dalam lampiran undang-undang, agar tidak menimbulkan multitafsir. Rancangan regulasi ini diharapkan dapat memperjelas batasan penggunaan, kepemilikan, hingga sanksi hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan baik oleh individu maupun jaringan sindikat.
Dengan pendekatan yang melibatkan berbagai unsur masyarakat dan lembaga negara, pemerintah berharap RUU ini dapat menjadi solusi yang adil dan berkelanjutan dalam penanganan masalah narkotika di Indonesia. Setelah proses pembahasan ini rampung, rancangan akan segera dibawa ke tahap harmonisasi dan pembahasan bersama DPR RI untuk dapat segera disahkan menjadi undang-undang.